::selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-moz-selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-webkit-selection {background:#12127D;color:#FFCC00;}

Tuesday, June 16, 2015

KODE ETIK KEODKTERAN


Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.

Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien),non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan/pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.

CONTOH KASUS KODE ETIK DI INDONESIA
Contoh kasus malpraktik yang pernah terjadi ialah kasus Sita Dewati Darmoko. Dia istri bekas Direktur Utama PT aneka tambang, Darmoko. Menderita tumor ovarium, Sita dioperasi di satu rumah sakit di Jakarta. Keluar dari kamar bedah, sita malah tambah parah. Dia akhirnya meninggal.rumah sakit menjanjikan ganti rugi Rp. 1 miliar, tapi ingkar. Akhirnya keluarga almarhum menggugat perdata rumah sakit tersebut. Majelis mengabulkan. Rumah sakit harus membayar Rp. 2 miliar kepada keluarga malang itu. Hakim menyebut dokter itu tidak teliti.
            Dari contoh kasus di atas, dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata).
            Kasus tersebut merupakan salah satu kasus malpraktik yang bisa terungkap dan dapat penyelesaian secara tuntas. Tetapi masih banyak kasus malpraktik yang sudah mencuat kemuka publik tetapi tidak mendapat penyelesaian secara tuntas, tidak hanya itu, kasus malpraktik yang tidak dilaporkan pun banyak, keluarga korban malpraktik hanya bisa pasrah menghadapi kenyataan. Berikut ini contoh kasus malpraktik yang pelakunya (dokter) tidak mendapatkan ganjaran yang setimpal.
Malpraktik sangat trekenal adalah kasus di Wedariyaksa, Pati, Jawa Tengah, pada 1981. Seorang wanita, Rukimini Kartono, meninggal setelah ditangani Setianingrum, seorang dokter puskesmas. Pengadilan Negeri memvonis si dokter bersalah. Dia dihukum tiga bulan penjara. Dia selamat dari hukuman, setelah kasasi ke Mahkamah Agung. (VIVAnews)
             Dokter tersebut jelas melanggar kode etik kedokteran, kerena dokter tersebut menyimpang dari Standar Profesi Medik. Dokter tersebut terkena pasal pasal 359, 360, dan 361 KUHP karena lalai sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Dan terkena hukum perdata karena Kelalaian yang mengakibatkan kerugian (pasal 1366 KUHPerdata).
            Melihat kasus-kasus malpraktik yang semakin meningkat frekuensinya tentu pemerintah tidak bisa tinggal diam. Kemudian landasan utama eksistensi dan legitimasi dari organisasi profesi yang disebut IDI ialah Kode Etik Kedokteran dan Sumpah dokter. Tujuan dan fungsi utama organisasi ini ialah menjaga martabat luhur profesi kedokteran, yakni dengan melaksanakan dan mengamalkan KODEKI tersebut secara konsisten dan konsekuen. Itulah sebenarnya hakikat dan “khittah” dari IDI. Disadari atau tidak, banyak kalangan dalam masyarakat berpendapat IDI tidak pernah objektif dalam menangani kasus-kasus pelanggaran etika yang diadukn. Buktinya selama ini nyaris tidak ada pelanggaran KODEKI yang dikenakan sanksi oleh IDI, setidaknya yang diketahui masyarakat luas. Kasus-kasus yang jelas dan “kasat mata” melanggar etika kedokteran pun tidak pernah jelas penanganannya.
            Sebaliknya, dikalangan dokter sendiri berkembang suatu mispersepsi yang sangat menyesatkan, berpegang pada diktum “Teman sejawat akan saya perlakukan sebagai saudara kandung” yang merupakan Kewajiban Dokter terhadap teman sejawat sebagai bagian dari KODEKI. Dengan begitu, IDI telah dipersepsikan secara sempit sebagai organisasi yang fungsi utamanya adalah membela para anggotanya yang disebut dokter, apa pun yang dilakukannya. Apalagi dengan telah membayar iuran, beberapa kalangan dokter berpendapat IDI harus membla dokter, melanggar atau tidak melanggar etika.
Dalam negara hukum sepeti yang dianut Indonesia berlaku asas utama rule of law yang diterjemahkan sebagai Aturan Hukum yang salah satu unsurnya adalah Asas Prduga Tak Bersalah. Asas ini menegaskan bahwa seorang tersangka harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan kesalahannya, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 66 kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berbunyi “Tersangka atau terdakwa tidak dibebani beban pembuktian:. Selanjutnya pasal 58 KUHP juga menegaskan “Hakim dilarang menunjukan sikapatau mengeluarkan pernyataan tentang keyakinana mengenai masalah salah atau tidaknya terdakwa.” Bagaimana dengan perselisihan hukum yang terjadi diantara dokter dan pasien yang pengaturannya berada dalam lingkup hukum kedokteran?
            Pertama, harus diingat bahwa sesuai dengan status negara hukum Indonesia, maka setiap warga tanpa kecuali harus taat dan tunduk kepada hukum. Dalam hal ini  dokter pun harus tunduk kepada hukum dengan segenap asa-asanya. Kedua, dalam perselisihan hukum apapun, selalu akan diawali dengan pertanyaa: apakah ada bukti untuk perkara tersebut? Kemudian apakan bukti tersebut sudah meyakinkan?
            Ketiga, hukum kedokteran termasuk dalam lingkup ilmu hukum yang berlaku asas-asas serta prinsip-prinsip ilmu hukum dan sama sekali bukanlah asas atau prinsip ilmu kedkteran.
            Keempat, perkara hukum kedkteran umumny memiliki ciri khusus bahwa perkara hukum kedokteran yang merupakan delik aduan lebih menyoroti masalah proses timbulnya perkara, bukan pada hasil atau akibat perbuatan tersebut. Dengan demikian, dapat saja terjadi seorang pasien meninggal ditangan seorang dokter tetapi dokter itu tidak dihukum karena semua proses hukum telah dipenuhinya secara benar, yaitu pemenuhan SPM.

Sumber:

No comments:

Post a Comment