::selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-moz-selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-webkit-selection {background:#12127D;color:#FFCC00;}

Saturday, November 19, 2011

Keadilan


Ketika  masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah diberhentikan, dan digantikan oleh  Sahal bin Hunaif. Pemecatan Ali atas Mu’awiyah ini didasarkan pada pengamatan beliau, bahwa pada hakikatnya penyebab kekacauan dan pemberontakan  adalah akibat ulah Mu’awiyah dan para gubenur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan adalah akibat kelalaian mereka. Mereka tidak berbuat banyak, ketika keadaan Madinah sangat genting, padahal mereka mempunyai pasukan yang kuat.

Mu’awiyah dan penduduk syam tidak puas dengan pemecatan ini, dan menolaknya.  Ia mengembalikan  utusan khalifah dengan mengirimkan surat penolakan melalui kurir yang sekaliguis kurir tersebut  mempropagandakan pembangakangan terhadap Khalifah Ali. Mereka menuntut Ali bin Abi Thalib untuk  mengungkap dan menyelesaikan  masalah pembunuhan Utsman bin Affan. Apabila Ali tidak bisa mengungkapnya, maka Ali dianggap bersekongkol dengan pemberontak dan melindungi pembunuh Utsman.  Propaganda mereka diperkuat dengan membawa jubah Utsman yang berluuran darah dan potongan jari istri Utsman yang putus akibat melindungi suaminya dari usaha pembunuhan.
Mu’awiyah berhasil mempengaruhi massa  yang kemudian mereka berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan. Mereka menganggap bahwa Ali ikut terlibat  dalam pemberontakan untuk mengguligkan Khalifah Utsman bin Affan. Mu’awiyah kemudian mengumpulkan pendunkungnya dan mempersiapkan diri  untuk memerangi Ali bin Abi Thalib.  Ia berhasil menarik simpati penduduk Syria, dan merekrut tokoh-tokoh seperti Amr bin Ash dengan tawaran jabatan yang strategis.
Melihat kondisi ini Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim utusan Jarir bin Abdullah  ke Damaskus untuk memperingatkan Mu’awiyah, dan ancaman  Khalifah akan mengirim pasukan untuk menggempur Mu’awiyah bila tetap membangkang. Akan tetapi Mu’awiyah malah mengkonsolidasikan pasukannya  dan berinat memerangi Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat tidak akan melakukan baiat sebelum Ali berhasil menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Utsman. Bila tidak, maka bukan baiat yang terjadi melainkan perang.
Setelah Khalifah Ali mendengarkan informasi yang dibawa oleh Jarir sekembalinya menghadap Khalifah, maka menurut Ali tidak ada pilihan lain kecuali memberangkatkan pasukan untuk  memerangi Mu’awiyah gubernur Syam yang membangkang. Kedua pasukan ini bertemu di lembah sungai Eufrat yang bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan berperang dan saling bersuaha mengalahkan lawan masing-masing. Dan karena nama tempat inilah, sehingga perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dikenal dengan nama perang Shiffin.

            Pertempuran sesama pemimpin Islam ini berlangsung sangat sengit. Kedua pasukan mempunyai kekuatan yang berimbang, tetapi pada hari-hari berikutnya pasukan Mu’awiyah mulai terdesak. Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan. Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.
Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan. Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.
Ali bin Abi Thalib meyerukan untuk terus melanjutkan peperangan sampai dapat mengalahkan Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian  pasukan Ali mulai mengehtikan peperangan, mereka ingin perselisihan ini diselesaikan lewat perdamaian dengan Al Qur’an sebagai tahkimnya. Dan sebagian yang lain tetap ingin melanjutkan peperangan, sebab kemenangan sudah ada dipihaknya dan mereka menganggap upaya Amru bin Ash itu hanya tipu muslihat. Melihat perpecahan pasukannya ini dan desakan untuk menyelenggarakan tahkim, akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan dan mengadakan tahkim.
Pertemuan untuk menyelesaikan krisis antara Ali dan Mu’awiyah dilaksanakan di suatu tempat di selatan Syria yang disebut dengan Daumatul Jandal. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy’ari seorang sahabat besar yang alim dan taqwa, tetapi ia bukan politisi, dan tidak memiliki kekuatan dalam beragumentasi dan berdiplomasi. Sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin Ash seorang politisi yang licin, ahli strategi, dan mempunyai kemampuan diploimasi yang sangat kuat. Kemudian masing-masing pihak mengirimkan utusan sebagai saksi 400 orang.

No comments:

Post a Comment