Abstraksi: Tulisan ini mengangkat
pemikiran para filosof Islam mengenai etika. Bila kita membaca kitab-kitab
etika klasik, seperti Tahzib Al-Akhlaq karangan Miskawaih, Tahshil Al-Sa’adah,
karya Al-Farabi, Al-Sa’adah wa Al-Is’ad, karya Al-amiri, dan Akhlaq-i Nashiri,
karya Nashir Al-Thusi, maka dapat kita artika bahwa etika___ yakni
filsafat moral atau ilmu akhlak___tidak lain dari pada ilmu atau
“seni” hidup yang mengajarkan bagaimana cara hidup bahagia, atau bagaimana
memperoleh kebahagian dan apa kebahagian itu. Kebahagian inilah yang menjadi
objek atau kata kunci dalam kajian para filosof mulai dari Yunani klasik
hingga zaman keemasan Islam. Sehingga, dari kata kunci “kebahagian” inilah
timbullah beragam interpretasi dan mazhab-mazhab etika baik pada zaman Yunani
kuno, abad pertengahan, hingga zaman keemasan Islam.
Katakunci: Etika, Kebahagian, Yunani Klasik, Abad
Pertengahan, Keemasan Islam, Moral
A.
Pendahuluan
kata-kata seperti “etika”, “etis”,dan “moral” tidak hanya terdengar dalam ruang kuliah
saja dan tidak menjadi monopoli kaum cendekiawan. Diluar kalangan intelektual
pun sering disinggung hal-hal seperti itu. Memang benar, dalam obrolan dipasar
atau ditengah penumpang-penumpang opelet kata-kata itu jarang sekali muncul.
Tapi jika membuka surat kabar atau majalah, hampir setiap hari kita menemui
kata-kata tersebut.
pertanyaan pertama yang muncul di benak kita ketika
membicarakan filsafat etika kaitannya dengan Islam adalah, apakah benar ada
filsafat etika dalam Islam?. Pertanyaan inilah
yang selalu menjadi objek perdebatan awal dan perhatian bagi para pengkaji
filsafat, khususnya filsafat etika Islam. Sebagai mukaddimah, pertanyaan ini
sangat penting untuk dijawab sebagai titik jelas kelanjutan pembahasan ini.
Boleh dibilang, penulis sejarah dan intelektual
modern sepakat bahwa tidak ada mazhab etika dalam pemikiran islam. Alasannya,
umat Islam memiliki sumber yang cukup dalam Alquran dan hadis. Karenanya,
mereka tidak merasa perlu dengan pembahasan filosofis tentang persoalan etika.
Alquran dan hadis sendiri menghindari pembahasan filosofis tentang persoalan
etika, apalagi menciptakan mazhab-mazhab etika dengan segala sistem berpikirnya.
Pembahasan etika dalam islam baru mendapat tempat ketika Islam bersentuhan
dengan peradaban Yunani. Kendati demikian, persoalan orisinalitas tema-tema
yang dibahas dalam ilmu ini masih terus diperdebatkan, seperti adanya pengaruh
Platonisme dan bercampuraduknya pandangan-pandangan al-Kindi dan al-Farabi
tentang eksistensi dan emanasi. Karenanya, popularitas sebagian besar filsuf
muslim bukan karena persoalan-persoalan etika yang mereka bahas, tapi isu-isu
lain di mana persoalan etika menjadi salah satu bagiannya.[1]
jika pun ada, pembahasan etikanya bukan dalam
pengertian Islam, baik dalam pemilihan tema maupun metodenya, sebagaimana yang
ditawarkan oleh al-Farabi. Konsep etika yang ditawarkannya sangat kental dengan
nuansa Aristotelianisme. Bahkan, dalam pembahasan etikanya ia tidak menambahkan
sedikit pun hal yang baru dari apa yang ditulis oleh Aristoteles, yang kemudian
konsep etika itu dijadikannya sebagai pengantar sistem politiknya yang sangat
terkenal dengan sebutan “kota ideal” (al-madinah al-fadilah).[2]
Meskipun demikian, berangkat dari kaburnya
pembahasan etika dalam Islam inilah yang menjadi penyemangat saya untuk
membahasnya. Dalam lembaran-lembaran berikutnya akan terlihat pemaparan saya
bahwa, sebenarnya pembahasan filsafat etika juga disentuh dan menjadi objek
kajian para filosof Islam. Seperti al-Kindi, al-Farabi, Miskawaih, al-Tushi dan
yang lainnya.
B. Pengertian Etika
Etika
adalah suatu cabang filsafat yang membicarakan tentang perilaku manusia. Atau
dengan kata lain, cabang filsafat yang mempelajari tentang baik dan buruk.
Etika
berasal dari istilah etik, istilah ini berasal dari bahasa Greek yang
mengandung arti kebiasaan atau cara hidup.[3] Untuk menyebut etika, biasanya ditemukan
banyak istilah lain : moral, norma dan etiket.[4]
Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah
“etika” pun bersal dari Yunani kuno. Kata Yunani ethos merupakan bentuk tunggal yang bisa memiliki
banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan,
adat; akhlak, watak; perasaan, sikap dan cara berpikir. Bentuk jamaknya adalah ta
etha yang berarti: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah “etika” dalam filsafat. Dalam sejarahnya,
Aristoteles (384-322 SM) sudah menggunakan istilah ini yang dirujuk kepada
filsafat moral.
Secara
etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima umum tentang
sikap, perbuatan, kewajiban dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada
ukuran-ukuran yang telah diterima oleh suatu komunitas, sementara etika umumnya
lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang dikembangkan di pelbagai wacana
etika. Akhir-akhir ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan
filsafat moral sebab dalam banyak hal, filsafat moral juga mengkaji secara
cermat prinsip-prinsip etika.[5]
Istilah lainya yang memiliki konotasi makna dengan
etika adalah moral. Kata moral dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner
mores, atau manners, morals. Kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hatinurani yang menjadi
pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani
sama dengan ethos yang menjadi etika.[6] Namun, meskipun sama-sama terkait dengan
baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian.
Moralitas lebih condong pada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap
perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari
tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori
tentang perbuatan baik dan buruk. Dalam filsafat terkadang etika disamakan
dengan filsafat moral.[7]
Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu
moral? Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar
etika. Tetapi di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus
dilakukan manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan
filsafat etika membahas yang harus dilakukan.[8]
Selain itu etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau
kata lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima
ketegori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali.
Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda
apa pun jenisnya.[9] Tetapi
tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan dan
keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah pada
kebaikan.
Kebaikan itu sendiri –menurut ibn Sina- sangat erat kaitannya dengan
kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal.
Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian
kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan.
Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu
yang diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara
bertindak menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat
dekat dengan sumber ke-Tuhan-annya dan ingin bersekutu
dengannya dan dengan arahnya itu ia mencapai kebahagiaan abadi.
Sedangkan menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan
itu merupakan sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan
aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik dalam kehidupan
adalah yang berguna secara praktis. Sama beda dengan aliran utilitarianisme
yang mengajarkan bahwa yang baik adalah yang berguna.
Ketika
dihubungkan dengan Islam, selalu muncul pertanyaan mendasar, adakah
sesungguhnya yang disebut sebagai etika Islam itu?. Menurut abdul Haq Anshari
dalam Islamic Ethics: Concepts and Prospects meyakini bahwa sesungguhnya Etika Islam
sebagai sebuah disiplin ilmu atau subyek keilmuan yang mandiri tidak pernah ada
pada hari ini. Menurutnya kita tidak pernah menjumpai karya-karya yang
mendefinisikan konsepnya, menggambarkan isu-isunya dan mendiskusikan
pemaslahannya. Apa yang kita temukan justru diskusi yang dilakukan oleh
berbagai kalangan penulis, dari kelompok filosof, teolog, ahli hukum Islam,
sufi dan teoretesi ekonomi dan politik dibidang mereka masing-masing tentang
berbagai isu, baik yang merupakan bagian dari keilmuan mereka atau relevan
dengan etika Islam.[10]
C. Konsep Etika Menurut Para Filosof Muslim
- Al-Kindi
Dalam hal ini etika
Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat.[11]
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan manusia[12].
Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang
sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud
ialah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk
memperoleh keutamaan.[13]
Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan
lahiriah berarti meningggalkan penggunaan akal.
Pertanyaan
yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki
keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hawa nafsu agar
dapat mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah : keahuilah
keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi
berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi
yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama
merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan
dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
a.
Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya fikir;
bersifat teoritik yaitu mengetahu segala sesuatu yang bersifat universal secara
hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
b.
Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah
(ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang
memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan
menolak yang harus ditolak.
c.
Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang
harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang
tidak diperlukan untuk itu.
Kedua
keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapai erupakan hasil
dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu
tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah
penganiayaan.[14]
- Al-Razi
Filsafat etika Al-Razi terdapat
hanya dalam karyanya :
a.
Al-tibb al-ruhani
b.
Al- Shirat al-Falsafiyyah
Al-Razi berpendapat bahwa :
a.
Seorang dalam hidup ini harus moderat, maksudnya dalam
hidup ini kita jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula terlalu tamak[15]
b.
Tidak terlalu menyendiri
c.
Tidak terlalu mengumbar hawa nafsu tetapi jangan pula
membunuh nafsu.
Untuk
mencapai tujuan tersebut ia membuat dua buah batas dalam hidup ini :
a.
Batas tertinggi
Batas tertinggi ialah menjauhi kesenangan yang hanya
dapat diperoleh dengan jalan menyakiti orang lain ataupun bertentangan dengan
rasio.
b.
Batas terendah
Batas terendah ialah menemukan atau memakan sesuatu yang tidak
membahayakan atau menyebabkan penyakit dan memakai pakaian sekedar untuk
menutup tubuh, dan diantara batas itu orang dapat hidup tanpa keterlayakan.[16]
Filsafat etika al-Razi yang
lain adalah :
a.
Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan
hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan
perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang-tentang aspek jiwa :
b.
Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan
hawa nafsunya; ia mengemukakan perbedaan yang dikemukakan oleh tentang-tentang
aspek jiwa :
1.
Nalar
2.
Lingkungan
3.
Hasrat dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
c.
Al-Razi mengenali dusta, dusta adalah hal yang buruk
d.
Tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat
menimbulkan rasa saki dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya
jiwa dan raga dan sebagainya.[17]
Dan
keempat pendapat tersebut tercakup dalam
Risalah etika Al-Razi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual
Phisic).[18]
3. Al-Farabi
Konsep
etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam
karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik.[19]
Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah persoalan
kebahagiaan. Didalam kitab At-tanbih
fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa
kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia,[20]
al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat
utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia
dan diahirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :
a.
Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan
yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh
dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar.
b.
Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang
mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini,
kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya
(fadhail fikriyah madaniyyah).
c.
Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis
keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua
jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan
kehendak sebagai penyemprna tabiat atau watak manusia.
d.
Keytamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu
pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.[21]
4.
Ikhwan
al-Safa`
Adapun
tentang moral etika, ikhwan al-Safa’ bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu
tindakan harus berlangsung bebas merdeka. Dalam mencapai tingkat moral
dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari ketergantungan kepada materi.
Harus memupuk rasa cinta untuk bisa sampai pada eksatase. Percaya tanpa usaha,
mengetahui tanpa berbuat adalah sia-sia. Kesabaran dan ketabahan, kelembutan,
kasih saying dan keadilan. Rasa syukur, mengutamakan kebajikan, gemar berkorban
untuk orang lain kesemuanya harus menjadi karakteristik pribadi. Sebaliknya,
bahasa kasar, kemunafikan, penipuan, kezaliman dan kepalsuan harus dikikis
habis sehingga timbul kesucian perasaan, kecintaan yangmembara sesama manusia,
dan keramahan terhadap alam dan binatang liar sekalipun.
Jiwa yang
telah dibersihkan akan mampu menerima bentuk-bentuk cahaya spiritual dan
entitas-entitas yang bercahaya. Semakin suci jiwa dan tidak terbelenggu oleh
ikatan jasmani, semakin dapat memahami makna dasar yang tersembunyi dalam kitab
suci dan kessuainya dengan data pengetahuan rasional dalm filsafat. Sebaliknya,
selama jiwa terperosok dalam daya pikat tubuh dan oleh keinginan-keinginan dan
kesenangan-kesenanganya, ia tidak dapt mengetahui makna kitab suci dan ia tidak
akan dapat beranjak kepad bola-bolalangit dan secara langsungmerenungkan apa
yang ada disana.[22]
5. Ibnu Maskawaih
Ibnu
maskawai adalah seorang moralis yang terkenal. Sehingga dia mendapat julukan
sebagai bapak etika Islam, Maskawaih dikenakl juga sebgai guru ketiga
(Al-Mutaalim al-Tsalis), setelah al-Farabi yang digelari guru kedua.
Sedangkan yang dipandang sebagai guru pertama adalah aristoteles.
Teorinya
tentang etika secara rinci ditulis dalam kitab Tahdzb al-Akhlaq wa al-‘Araq (pendidikan
budi dan pembersihan watak). Maskawai membagi kitabnya itu menjadi tujuh
bagian. Bagian pertama membicaraka perihal jiwa yang merupakan dasar pembahasan
akhlaq. Bagian kedua membicarakan manusia dalam hubunganya dengan akhlak.
Bagian ketiga membicarakan perihal kebajikan dan kebahagiaan yang merupakan
inti pembahasan tentang akhlak. Bagian keempat membicarakan perihal keadilan.
Bagian kelima membicarakan perihal cinta dan persahabatan. Bagian keenam dan
ketujuh membicarakan perihal pengobatan penyakit-penyakit jiwa.
Teori
etika Maskawaih bersumber pada filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran
dyari’at Islam, dan pengalaman pribadi.[23]
Filsafat etika Maskawaih ini selalu mendapat perhatian utama. Keistimewaan yang
menarik dalam tulisanya ialah pembahasan yang didasarkan pada ajaran Islam
(Al-Qur’an dan Hadits) dan dikombinasikan dengan pemikiran yang lain sebagai
pelengkap, seperti filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Persia. Dimaksud dengan
pelengkap ialah sumber lain baru diambilnya
apabila sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak
demikian.[24]
Akhlak,
menurut Maskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya
untuk berbuat tanpa piker dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua
unsure, yakni unsure watak naluriah dan unsure lewat kebiasaan dan latihan.[25]
Berdasarkan
ide diatas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak pandangan orang-orang
Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu
Maskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan
jalan pendidikan (Tarbiyah al-Akhlak) dan latihan-latihan. Pemikiran
seperti ini jelas sejalan dengan ajaran Islam karena kandungan ajaran Islam
secara eksplisittelah mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat
agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia. Kebenaran ini
jelas tidak dapat dibantah, sedangkan akhlak atau sifat binatang saja bisa
berubah dariliar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.[26]
Masalah pokok
yang dibicarakan dalam kajian tentang akhlak adalah kebaikan (al-khair),
kebahagiaan (al-sa’adah) dan keutamaan (al-fadhilah). Menurut Ibnu Maskawaih,
kebaikan adalah suatu keadaan dimana kita sampai kepada batas akhir dan
kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum dan adakalanya khusus. Diatas
semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan wujud
tertinggi.
Mengenai
pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang
pokoknya terdapat dua versi, pandangan pertama dari Plato dan yang kedua oleh
Aristoteles. Ibnu Maskawaih tampil diantaara dua pendapat tersebut. Menurutnya,
karena pada diri manusia ada dua unsure, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan
itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama ada manusia yang
terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya,
namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua,
manusia yang melepaskan diri dari keterikatanya kepada benda dan memperoleh
kebahagiaannya lewat jiwa.
Tentang
keutamaan, Ibnu Maskawaih berpendapat bhwa asas semua keutamaan adalah cinta
kepada semua manusia. Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin
ditegakkan.[27]
6. Al-Ghazali
Filsafat
etika al-Ghazali secara
sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam bukunya Ihya’
Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika al-Ghazali adalah teori
tasawufnya. Mengenai tujuan pkok dari etika al-Ghazali kita temukan pada
semboyan tasawuf yang terkenal : al-Takhalluq bi-Akhlaqillah ‘ala taqothil
Basyathiyyah, atau pada semboyannya yang lain, al-Shifatir-Rahman ‘ala
Taqhathil Basyathiyah.
Maksud
semboyan itu adalh agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai dan
sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan,sabar jujur, takwa, zuhud, ihlas beragama dan sebagainya.
Dalam Ihya’
Ulmuddin itu, al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf
dengan mendalam sekali. Misalnyadalam mengupas soal at-thaharah ia tidak hanya
mengupas soal kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan rohani.
Al-Ghazali
melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan rasa
akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, al-Ghazali menganggap
Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan
menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi
sekalian alam. Al-ghazali juga mengakui bahwa kebaikan tersebur dimana-mana,
juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disedeeer hanakan, yaitu kurangi
nafsu dan jangan berlebihan.
Bagaimana
cara bertaqarrub kepada Allh itu, al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan
yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting ialah muraqabah,
yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan al-mahasabah, yakni senantiasa
mengoreksi diri sendiri.
Menurut
al-Ghazali, kesenangan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan.
Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu. Bertambah banyak
mengetahui kebenaran itu, bertambah banyak orang merasakan kebahagiaan.
Akhirnya,
kebahagiaan yang tertinggi itu ialah bila mengetahui kebenaran dari sumber segala
kebahagiaan itu sendiri. Itulah yang dinamakan ma’rifatullah, yaitu mengenal
adanya Allah tanpa syak sedikit juga dan dengan penyaksian hati yang sangat
yakin.[28]
7. Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah
membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. perbuatan
hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang
didasrkan atas petimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.
Sebagi contoh,
perbuatan makan bisa dikategorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi
perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk memenuhhi
keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila
perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam dalam
mencapai keutamaan hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi.
Perbedaan
antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada
perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis
perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan
ajaran Islam. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatanya
atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan. Menurut
Ibnu Bajjah, apabila perbuatan dilakukan
demi memuaskan akal semata, perbuatan ini mirip dengan perbuatan ilahy dari
pada perbuatan manusiawi.
Secara
ringkas Ibbnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkat
sebagai berikut :
a.
Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan
rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
b.
Tujuanrohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan
rohaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
c.
Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar
kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia
yang sempurnadan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu
Bajjah.[29]
8. Ibnu Thufail
Menurutnya,
manusia merupkan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esesnsi non-bendawi,
dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu
pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara
meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai
peniruanya, pertamaterikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan
kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca burukdan binatang buas,
dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua
menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek
hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi Tuhan dan perputaran
esensi orang dalam ekstase.
Ibnu
Thufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan
tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terahir dia
harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan, yaitu pengetahuan,
kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah dan sebagainya.
Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lain dan demi Tuhan,
secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang
terahir adalah suatu ahir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada
perwujudanya dalam visi akan rahmat Tuhan. Dan visi sekaligus menjadi identik
dengan esensi Tuhan.[30]
9. Ibnu Rusyd
Mengenai
etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk social yang membutuhkan kerja sama untuk memenuhi keperluan hidup dan
mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan
ahir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan
dasar-dasarkeuamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang
mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan perhubungan
dengan akal aktif.[31]
10. Nashiruddin At-Thusi
Nasir
al-Din Abd al-Rahman, gubernur Ismailiyah dan Quhistan, memerintahkan al-Thusi
menerjemahkan kitab al-Thaharah (Tahdzib al-Ahlaq) dari bahasa
Arab kedalam bahasa Pesia. Namun al-Thusi melihat karya Maskawaih tersebut
terbatas pada penggambaran disiplin moral, hal yang berhubungan dengan rumah
tangga dan politik tidak disinggung dalam buku tersebut. Padahal, keduanya merupakan
aspek yang sangat penting dari “Filsafat Praktis”, dan karena itu tidak boleh
diabaikan. Atas dasar itulah al-Thusi memasukkan persoalan rumah tangga dan
politik dalam karyanya, Akhlaq-I Nasiri, dengan menyetir pemikiran
al-Farabi dan Ibnu Sina. Jadi karya tersebut tidak semata-mata terjemahan dari Tahdzib
al-Ahlaq sebagaimana diutarakan dalam encyclopedia of Islam, tetapi lebih
bersifat ringkasan dari buku Tahdzib al-Akkhlaq dengan format dan
klasifikasi masalah sepenuhnya merupakan karya al-Thusi.
Bukunya
Akhlaq-I Nashiri mengklasifikasikan pengetahuan kedalam spekulasi dan
praktek. Pengetahuan speklatif dibaginya dalam (a) metafisika dan theology, (b)
matematika, (c) ilmu-lmu alam, termasuk elemen, ilmu-ilmu transportasi,
meteorology, minerologi, botani, zoology, psikogi, pengobatan, astrologi dan
agrikultur. Pengetahuan praktis termasuk (a) etika, (b) ekonomi domestik dan
(c) politik.
Baik dan buruk tidak luput dari perhatian Thusi. Kebaikan
datang dari Tuhan, sedangkan yang buruk lahir secara kebetulan dalam perjalanan
yang baik.
Menurut
al-Thusi bahwa kebahagiaan utama adalah tujuan moral utama, yang ditentukan
oleh tempat dan kedudukan manusia didalam evolusi kosmik dan diwuudkan lewat
kesediannya untuk berdisiplin dan patuh. Al-Thusi juga menempatkan kebajikan
(tafadhol) diatas keadilan dan cinta (mahabbah) sebagai sumber alami kesatuan,
diatas kebajikan.
Bagi
al-Thusi, penyakit moral bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yaitu
(1) keberlebihan, (2) keberkurangan dan (3) ketakwajaran akal, kemarahan atau
hasrat. Bagi al-Thusi masyarakat berperan. Bagi al-Thusi, masyarakat juga
berperan menentukan kehidupan moral, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk
social, bahkan kesmpurnaannya terletak pada tindakannya yang bersifat social
kepad sesamanya. Dengan kata lain, ia mendukung konsep cinta dan persahabatan.
Lebih
luas permasalahan moral, Thusi memasukkan urusan rumah tangga kedalamnya. Thusi
mendefinisikan rumah (manzil) sebagai hubungan istimewa antara suami dan istri,
orang tua dan anak, tuan dan hamba serta kekayaan dan pemiliknya. Tujuan ilmu
rumah tangga adalah mengembangkan system disiplin yang mendorong terciptanya
kesejahteraan fisik,social dan mental kelompok. Mengenai disiplin anak-anak,
Thusi mengikuti pendapat Maskawaih memulai dengan penanaman moral yang baik
lewat pujian, hadiah dan celaan yang halus.[32]
11. Mulla Shadra
Agama
Islam diturunkan oleh Allh kepada manusia dengan tujuan untuk membimbing
meereka memperoleh kebahagiaan tertinggi dengan jalan menciptakan keseimbangan,
baik pada tingkat individu maupun social. Hal ini mengandung arti bahwa substansi manusia yan diciptakan oleh dzat
Yang Maha Sempurna, harus mengetahuui cara mengaktualisasikan seluruh
kemampuannya.
Berkaitan
dengan kebahagiaan ini, Mulla Shadra menyatakan sangat bergantung kepada
kesempurnaan jiwa dalam proses inteleksi (taaqqul). Lebih lanjut Shadra
mengatakan bahwa pengetahuan dapat mengalih bentuk orang yang tahu dalam proses
trans-subtansi (harka jauhariya)nya menuju kesempurnaan.
Menurut
prinsip harka jauhariya, substansi wujud didunia inni mengalami transformasi
terus menerus dengan menempatkan manusia sebagai pusat domain dunia yang
menghubungkan seluruh skala wujud.
Berkaitan dengan keadilan (‘adalah), tidak dapat
dipisahkan dengan konsep keseimbangan (I’tidal) yang memiliki akar kata yang
sama. Bagi Mulla Shadra, kedua konsep itu dikaitkan dengan pucuk kesempurnaan
jiwa manusia dan persoalan-persoalan etika didalam filsafat, tasawuf dan
syariah[33].
12. Iqbal
Filsafat
Iqbql adalah filsafat yang meletakkan kepercayaan kepada manusia yang
dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, mempunyai kemampuan untuk
mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut
memperindah dunia. Hal ini dimungkinkan karena manusia merupakan wujud
penampakan diri dari Aku Yang Akbar.
Manusialah
yan dapat mengambil inisiatif menyiapkan diri dalam menghadapi tantangan alam
dan mengerahkan seluruh kekuatannya supaya dapat mempergunakan tenaga-tenaga
alam untuk tujuan sendiri. Dengan bersenjatakan pengetahuan, manusia berkenalan
dengan aspek kebenaran yang dapat diselidiki. Usaha pikiran mengatasi yang
disebabkan oleh alam. Manusia bertahan dengan alam, dan pertalian ini
memungkinkan manusia mengawasi tenaga-tenaga alam yang dikerahkan untuk
mengambil manfaatnya, bukan dengan nafsu jahathendak menguasainya, melainkan
mendatangkan keunugan yang lebih mulia dalam perkembangan rohaniahnya.
Untuk
tujuan ini, Iqbql berpendapat bahwa persepsi indrawi saja tidak cukup, tetapi
harus dilengkapi dengan persepsi lain, yang oleh al-Qur’an disebut fuad dan
qalb.
Dalam
hal mencari kebenaran dari suatu pengalaman, Iqbal membagi dua macam cara
pembuktian ; pertama, pembbuktian secara akal dan cara kedua pembuktian secara
pragmatis. Yang dimaksud pembuktian secara akal adalah penafsiran yang kritis
tanpa prasangka tentang pengalaman manusia. Pembuktian secara pragmatis adalah
pembbuktian kebenaran dari suatu pengalaman dengan melihat hasilnya. Dalam hal
ini pengalaman religius dilihat dari hasilnnya.
D. Analisis Tentang Konsep Etika Para Filosof Muslim
Dari sini saya
dapat menganalisis bahwa, beberapa konsep-konsep etika filosofis muslim mencerminkan pengaruh aliran-aliran filsafat
Yunani. Karya-karya tentang moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi sebagai
filosof Muslim pertama, sanagat dipengaruhi oleh Socrates.
Pengaruh
klasik lainnya bisa juga dilihat dalam karya-karya filosof beraliran Platonis
seperti Abu Bakar al-Razi, yang mengikuti pembagian Plato tentang
pembagian-pembagian jiwa, dan kalangan Neoplatonis seperti al-Farabi. Sementara
pengaruh Aristotelian bisa juga dilihat dari al-Farabi, yang mendiskusikan
tentang kejahatan.
Didalam
karya etika Maskawaih pengaruh Platonis menerima konfirmasi dan dimensi
politiknya lebih jauh dimana sebelumnya tak ada, maka pada saat ini mulai
tampak. Didalam karya etika Maskawaih, ia mencabangkan tiga bagian kebajikan menjadi
kebijaksanaan, keberanian dan kesederhanaan.
Dimensi
politik muncul secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasir al-Din al-Tusi yang menggambarkan
jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etila dari pada
pendahulunya.
Al-ghazali,
yang system etikanya mencangkup moralitas filosofis, teologis dan sufi, adalah
contoh yang paing representatif dari tipe etika religius. Terahir Mulla Shadra,
yang pemikirannya dipenuhi oleh elemen-elemen Ibnu Sna dan al-Ghazali,dapat
dianggap sebagai wakil penting pada periode klasik dalam tulisan tentang etika,
filsafat dan teologi.
Dalam
beberapa konsep etika ini banyak para filosof yang menghubungkan etika ini
dengan tujuan pencapaian kebahagiaan manusia didunia dan diahirat diantaranya
adalah, ada juga yang menghubungkan etika dengan jiwa, baik itu merupakan jiwa
hewani, esensi non-bendawi, diantaranya maupun manusiawi. Selain itu masih ada
juga yang menghubungkan moral atau etika dengan politik, rumah tangga dan
menghubungkannya dengan keutamaan-keutamaan dengan mengerjakan perbuatan yang
baik dan terpuji.
E.
Kesimpulan
Dari
beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan :
1.
Etika adalah suatu cabang filsafat yang membicarakan
tentang perilaku manusia dan juga mempelajari tentang baik dan buruk.
2.
Kata etika mempunyai persamaan kata, yaitu moral,
etiket dan norma.
3.
Beberapa filosof muslim mempunyai perbedaan dalam
menjelaskan konsep-konsep etika.
4.
Beberapa konsep-konsep etika filosofis muslim mencerminkan pengaruh aliran-aliran filsafat
Yunani.
Daftar Pustaka
Bartens, K. Etika, Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001
Boy ZTF, Pradana.
Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh, Malang : UMM Press, 2003
Baqir, Haidar. Buku: Saku Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2005
Daudy, Ahmad. Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Fakhry, Majid. Sejarah
Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis, Bandung : Mizan, 2001
Mustofa, H.A. Filsafat
Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1997
Nasution, hasyimsyah.
Filsafat Islam, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999
Poespoprodjo. Filsafat
Moral Kesusilaan Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999
Sarwoko. Pengantar
Filsafat Ilmu Keperawatan,
Jakarta: Salemba
Subhi, Ahmad Mahmud. Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis
dan Intuisionalis Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001
Sudarsono, Filsafat
Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1997
Syarif, M.M. Para Filosof
Muslim, Jakarta : Mizan, 1993
Widjajanti, Rosmaria Sjafariah. Etika, Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Zar, Sirajudin. Filsafat
Islam : Filosof dan Filsafatnya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004
[1] Dr. Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis
dan Intuisionalis Islam, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001), 16-17.
[2] Dr. Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis
dan Intuisionalis Islam, 16
[3] Rosmaria
Sjafariah Widjajanti, Etika, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 23
[4] Pradana
Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh (Malang : UMM Press,
2003),61
[8] K
Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia,
1993), 27
[11]
Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), 28
[12] H.A.
Mustofa, Filsafat Islam (Bandung : Pustaka Setia, 1997), 110
[13]
Sudarsono, Filsafat Islam,
28
[14] H.A.
Mustofa, Filsafat Islam, 111
[15]
Sudarsono, Filsafat Islam,
56
[16]
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim (Jakarta : Mizan, 1993), 48
[17]
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, 49-50
[18] Majid
fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis (Bandung :
Mizan, 2001), 36
[19]
hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta : Gaya Media Pratama,
1999), 43
[23] H.A.
Mustofa, Filsafat Islam, 176
[24]
Sirajudin zar, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2004), 135
[25] Ahmad
Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), 61
[28] H.A.
Mustofa, Filsafat Islam, 240
[30] H.A.
Mustofa, Filsafat Islam, 279-280
No comments:
Post a Comment