Secara
sederhana dan umum, suatu masyarakat dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu
"kelas atas", "kelas menengah" dan "kelas bawah"
(Jangan disamakan, walau mirip dengan pemikiran Cliford Geerzt --priyayi,
santri dan abangan. Atau teorinya C.A. Van Paursen dengan masyarakat
Mitologi, Ontologis dan Fungsionalis).
Dalam
beragama, secara social, mereka (tiga golongan diatas) memiliki perbedaan yang
sangat mencolok dalam memahami, melihat dan merespon agama dan mereka sangat
menentukan dalam pembentukan masyarakat. Masyarakat itu "sehat" atau
"tidak sehat" tergantung komposisi mereka dan peranan masing-masing
untuk melakukan tugasnya.
Sebab
dalam beragama yang intinya adalah keimanan dan kepercayaan, sedangkan
kepercayaan perdefinisi adalah keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah
atas dasar bukti, sugesti, otoritas, pengalaman atau intusisi (Kohler, et al,.
1978:48). Bila kita percaya bahwa penyakit cacar karena mahluk halus, maka kita
akan cenderung menolak vaksinasi. Bila kita percaya bahwa banyak anak banyak
rejeki, maka KB tidak akan berhasil kecuali mereka memperoleh kepercayaan yang
baru. Menurut Solomon E. Asch (1959:565-567), kepercayaan dibentuk oleh
pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan.
Karena
ketiga kelompok itu, pengetahuan, kepentingan dan kebutuhannya berbeda-beda,
maka kepercayaannya juga beragam. Kelompok pertama, kelas bawah, kita
katakan "kelompok Islam rendah", Biasanya punya kecendrungan dengan
ikatan komunal, kesukuan atau semi-suku. Masih kuat kepercayaannya pada wali,
garis guru-murid dan perkumpulan tarekat. Mereka biasanya memandang agama
sebagai "pelarian" dari kesengsaraan mereka, sebagai penghindaran
sementara lewat suasana fana yang dirangsang dengan kesufian, tarekat, tokoh
karismatik dan wibawa kewali-walian (Gellner;1994). Kita lihat sebagai contoh
berapa banyak orang yang ikut acara-acara keagamaan; mereka datang dari jauh
dengan kendaraan rombongan dll, padahal secara financial mereka pas-pasan.
Mereka jarang datang sendirian, dan biasanya secara ilmu keagamaan mereka
rendah bahkan sangat rendah. Mereka mencari barokah, minimal ketemu para guru,
ulama dll. Walau mereka tidak menyerap ilmu mereka (guru dan wali-wali
tersebut).
Kalau
islam kelas bawah, mencari "pelarian" dalam agama, maka kelompok
kedua, kelas atas, yang kita namakan "islam tinggi" mencari
"peneguhan" (confirmation) atas keadaan mereka yang "cukup"
dan gaya hidup mereka yang "nikmat" baik sebagai pedagang, atau
memiliki kenikmatan lainnya (kedudukan, status keustadan dll). Biasanya mereka
memandang agama secara "skripturalis", menurut aturan, puritan,
harfiah, antiekstase, dan lebih "legal-formal".