Aku masih bingung dengan apa yang terjadi
di negeriku, entah kenapa semakin hari semakin aneh saja orang-orang di negeri
ini (atau aku juga ikut aneh?). Setiap menyalakan televisi yang muncul koripsi
lagi, kekerasan lagi. Jika eksekutif, legislatif, dan yudikatif sama-sama
terlibat korupsi, lalu pertanyaannya “siapa lagi yang akan mengawasi dan
menjaga negeri ini?”. Jadi bingung, ga’ habis pikir, negeri yang katanya
merdekanya hasil darah dan nyawa, kok memiliki mental bar-bar. Sekali lagi aku
benar-benar tak mengerti, negeri yang gemah ripah loh jinawe ini harus dihuni
oleh para mafia-mafia tak memiliki nurani.
Sudahlah, rasanya tiada guna lagi merintih
dan mengeluh, sudahlah tak perlu lagi ada kekerasan, sudahlah tak perlu lagi
saling menyalahkan. Sudah saatnya kita bergandengan tangan, menyusun kembali
mozaik-mozaik kebangsaan yang telah lama berserakan. Sudah saatnya kita membuka
mata, mebuka pikiran, dan saling merasa bahwa kita adalah bangsa yang UNIK.
Bangsa
yang dilahirkan dengan segala perbedaan, bangsa yang memiliki potensi besar
untuk menjadi besar. Apakah kita tidak merasa syukur terlahir sebagai bagian
dari bangsa Indonesia ini? Mari para pemikir, para ilmuan, para ulama, para
nasionalis, para kaum terpelajar yang masih punya niat suci untuk membenahi
bangsa ini, dan juga orang-orang yang masih cinta keadilan sekali lagi mari
kita sumbangkan pemikiran terbaik kita untuk pembenahan yang lebih baik.
“kuat
karena bersatu, bersatu karena kuat”, kata-kata bung Karno ini patut
untuk kita jadikan mesin penggerak ditengah kuatnya tantangan bagi “sang
perubah” yang akan berjuang. Sekali lagi kita katakan tidak ada tempat
bagi para “firaun-firaun” di negeri kita. Agaknya “perubahan”
yang diharapkan terlalu “wah” dan terlalu sulit untuk dilakukan.
Yudhi Latief (seorang penulis buku “Negara paripurna”) pernah menulis di
akun facebooknya “kita tak perlu berpikir bagaimana caranya untuk merubah
bangsa ini, tapi berpikirlah bagaimana caranya kita merubah diri kita, karena
dengan berubahnya kita, maka lingkungan sekitar kita akan ikut berubah” kurang
lebih (kalau tidak salah) itulah redaksi yang masih aku ingat.
lalu pertanyaannya “sudahkah kita memulai
dari diri kita?” atau jangan-jangan belum sama sekali, sehingga yang terjadi
kita sibuk “mengkafiri” orang lain, padahal diri kita sendiri “kafir”.
Entahlah… aku teringat pada perjalana pulangku pada 14-08-2012 dari
Surabaya-Bali dalam sebuah bis, yang ketika itu ada seorang pengamen yang sudah
paruh baya menyanyikan sebuah lagu yang aku catat pada buku sakuku dan
menurutku syarat akan makna “Negeriku bagi para penipu, dikenal di seluruh
penjuru, tentu saja bagi yang tak tahu malu, inilah surga-surga… Bersih-bersih
diri sebelum menyapu sampah dan debu. Nyanyian berkarat sampai ke liang lahat.
Atas nama rakyat berwajah pucat”. Menyedihkan bukan?
No comments:
Post a Comment