BALAIKOTA, MONDE - Sejarah Depok hingga kini
belum menjadi pelajaran muatan lokal (mulok) di seluruh jenjang pendidikan.
Kondisi ini berbeda dengan di beberapa wilayah lain di Jawa Barat yang telah
memasukkan sejarah wilayahnya menjadi pelajaran mulok.
Usulan
menjadikan sejarah Depok ke dalam pelajaran mulok mengemuka dalam kegiatan
Seminar Penelusuran Sejarah Depok Berbasis Waktu Pada Masa Pra Kolonial dan
Masa Kolonial yang diadakan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok di
Aula Lantai 1 Balaikota Depok, kemarin.
Ketua Depok
Heritage Community Ratu Farah Diba menuturkan, masih banyak siswa yang belum
mengetahui akan sejarah yang ada di kotanya. “Mengapa sejarah Depok dimasukkan
dalam pelajaran muatan lokal? Akan lebih baik jika sejarah ini bisa menjadi
mulok, agar siswa makin mengetahui dan memahami sejarah yang ada di daerahnya,”
ujar Ratu.
Menanggapi
hal ini, Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok Azwar Darmansyah
mengungkapkan persetujuannya. “Seharusnya demikian, tapi memang tak langsung
serta merta bisa dijadikan mulok begitu saja. Harus dikaji, diriset lebih
mendalam agar seluruh fakta sejarahnya otentik dan sesuai dengan kenyataan saat
itu. Kroscek juga ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),” tutur Azwar.
Pihak Kantor
Arsip dan Perpustakaan akan segera berdialog dengan Dinas Pendidikan Kota Depok
untuk menempuh upaya memasukkan sejarah Depok menjadi pelajaran mulok. Hal ini
dirasakan perlu untuk segera dilakukan mengingat daerah lain, seperti Bekasi,
telah memasukkan pelajaran sejarah Bekasi menjadi mulok di jenjang SD-SMA mulai
2013 mendatang.
Sementara
itu, pada bagian lain seminar ini, penulis buku Gedoran Depok, Wenri Wanhar
memaparkan kehidupan Depok di masa kolonial. Pada 18 Mei 1696, Cornelis
Chastelein membeli Tanah Depok. Untuk menggarap tanah di Depok diperlukan
tenaga kerja. Maka Chastelein membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar
150 orang dari Pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Timor.
“120 orang budak ini dibagi
menjadi 12 marga, yakni Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh,
Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh,” tutur Wenri.
Di usia ke
57, tepatnya 28 Juni 1714 Cornelis Chastelein wafat. Dia meninggalkan surat
wasiat untuk para pekerjanya. Isi surat wasiat itu menjelaskan antara lain
bahwa harta kekayaan Chastelein berupa tanah, bangunan, alat pertanian, alat
kesenian dan lainnya dihibahkan kepada 12 marga yang pernah menjadi pekerjanya.
Seminar ini
dihadiri oleh siswa di sejumlah SMA Negeri dan swasta di Kota Depok. Juga
dihadiri oleh pembicara lain yakni Dr Ali Akbar staf pengajar dari Jurusan
Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Mumuh Muhsin dan R
Muhammad Mulyadi dari Universitas Padjajaran.(bhk)
No comments:
Post a Comment