::selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-moz-selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-webkit-selection {background:#12127D;color:#FFCC00;}

Sunday, October 21, 2012

Usulkan Sejarah Depok Jadi Mulok


BALAIKOTA, MONDE - Sejarah Depok hingga kini belum menjadi pelajaran muatan lokal (mulok) di seluruh jenjang pendidikan. Kondisi ini berbeda dengan di beberapa wilayah lain di Jawa Barat yang telah memasukkan sejarah wilayahnya menjadi pelajaran mulok.
Usulan menjadikan sejarah Depok ke dalam pelajaran mulok mengemuka dalam kegiatan Seminar Penelusuran Sejarah Depok Berbasis Waktu Pada Masa Pra Kolonial dan Masa Kolonial yang diadakan oleh Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok di Aula Lantai 1 Balaikota Depok, kemarin. 
Ketua Depok Heritage Community Ratu Farah Diba menuturkan, masih banyak siswa yang belum mengetahui akan sejarah yang ada di kotanya. “Mengapa sejarah Depok dimasukkan dalam pelajaran muatan lokal? Akan lebih baik jika sejarah ini bisa menjadi mulok, agar siswa makin mengetahui dan memahami sejarah yang ada di daerahnya,” ujar Ratu.
Menanggapi hal ini, Kepala Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Depok Azwar Darmansyah mengungkapkan persetujuannya. “Seharusnya demikian, tapi memang tak langsung serta merta bisa dijadikan mulok begitu saja. Harus dikaji, diriset lebih mendalam agar seluruh fakta sejarahnya otentik dan sesuai dengan kenyataan saat itu. Kroscek juga ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI),” tutur Azwar.
Pihak Kantor Arsip dan Perpustakaan akan segera berdialog dengan Dinas Pendidikan Kota Depok untuk menempuh upaya memasukkan sejarah Depok menjadi pelajaran mulok. Hal ini dirasakan perlu untuk segera dilakukan mengingat daerah lain, seperti Bekasi, telah memasukkan pelajaran sejarah Bekasi menjadi mulok di jenjang SD-SMA mulai 2013 mendatang.
Sementara itu, pada bagian lain seminar ini, penulis buku Gedoran Depok, Wenri Wanhar memaparkan kehidupan Depok di masa kolonial. Pada 18 Mei 1696, Cornelis Chastelein membeli Tanah Depok. Untuk menggarap tanah di Depok diperlukan tenaga kerja. Maka Chastelein membeli pekerja-pekerja yang berjumlah sekitar 150 orang dari Pulau Sulawesi, Kalimantan, Bali dan Timor. 
“120 orang budak ini dibagi menjadi 12 marga, yakni Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh,” tutur Wenri.  
Di usia ke 57, tepatnya 28 Juni 1714 Cornelis Chastelein wafat. Dia meninggalkan surat wasiat untuk para pekerjanya. Isi surat wasiat itu menjelaskan antara lain bahwa harta kekayaan Chastelein berupa tanah, bangunan, alat pertanian, alat kesenian dan lainnya dihibahkan kepada 12 marga yang pernah menjadi pekerjanya.
Seminar ini dihadiri oleh siswa di sejumlah SMA Negeri dan swasta di Kota Depok. Juga dihadiri oleh pembicara lain yakni Dr Ali Akbar staf pengajar dari Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Mumuh Muhsin dan R Muhammad Mulyadi dari Universitas Padjajaran.(bhk)

No comments:

Post a Comment