::selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-moz-selection {background:##12127D;color:#FFCC00;} ::-webkit-selection {background:#12127D;color:#FFCC00;}

Monday, October 29, 2012

Tulisan Memperingati Hari Tani Nasional



gambar diambil dari indopos,com
Setiap tanggal 24 September negara kita merayakan Hari Agraria nasional. Hari peringatan ini untuk mengingatkan lahirnya UU PA di era Orde Lama yang bercita-cita menjalankan reformasi Agraria. Selain merayakan Hari Agraria pada tanggal ini pula diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Penetapan Hari Tani Nasional berdasarkan keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 No 169/1963 menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas dan soko guru bangsa yang justru kerap dilupakan. Setiap tahunnya ribuan petani turun ke jalan untuk memperingatinya di berbagai kota di Indonesia. Sebuah perayaan  yang lebih banyak diliputi keprihatinan daripada kebanggaan mengingat kondisi petani kita yang jauh dari kesejahteraan. Di sektor pertanian ini bergantung separuh lebih warga negara yang terbagi dalam petani pemilik lahan, petani gurem, buruh tani hingga yang telah memasuki industrialisasi pertanian. Ironisnya negeri  yang disebut negeri agraris ini jutaan petaninya berada di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan rata-rata Rp 300.00 per bulan. Dibukanya keran teknologi pertanian tidak serta merta membuat kehidupan petani membaik. Belum lagi jika melihat ribuan kasus rebutan lahan antara petani dengan korporasi yang berlindung di balik BUMN. Hampir setiap hari petani dan masyarakat adat harus berhadapan dengan aparat untuk memperebutkan lahan.

Jika kita melihat permasalahan sektor pertanian tidak semata masalah lahan dan ketertinggalan teknologi pertanian saja. Lebih jauh dari itu kebijakan sektor pertanian oleh pemerintah menjadi penting untuk memberi perlindungan bagi petani. Namun yang selama ini terjadi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah justru sedikit sekali  keberpihakanya kepada petani. Di era pemerintahan SBY berbagai macam peraturan yang dibuat pemerintah seperti kebijakan impor macam-macam hasil pertanian dengan alasan memenuhi kebutuhan dalam negeri malah menyebabkan petani semakin terhimpit oleh zaman. Sebagai contoh lain adanya privatisasi sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup petani seperti air justru membuat petani kesulitan untuk mendapat haknya di tanah air sendiri

Petani tembakau misalnya, dimana 30 juta orang dari sektor hulu hingga hilir terkait secara langsung maupun tidak langsung akhir-akhir ini diserang dengan kebijakan yang tidak berpihak kepada petaninya. Dengan alasan kesehatan adanya RPP Tembakau alih-alih melindungi kesehatan warga negara, pada kenyataannya justru membatasi petani tembakau untuk turut menikmati hasil dari tanamannya . Tembakau sebagai komoditas pertanian disebut sebagai tanaman yang mengandung zat adiktif sehingga harus diamankan penyebarannya. Tentu ini menjadi tanda tanya besar dimana keberpihakan pemerintah dalam melindungi petani tembakau ketika kebijakannya justru menghancurkan industri pertanian lokal. Padahal menurut Topatimasang dalam bukunya, Kretek: Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota, bahwa tanaman tembakau masih menjadi industri yang relatif bersih dari campur tangan asing. Ini bukti bahwa keberadaan petani Indonesia contohya petani tembakau haruslah dberi perlindungan dari usaha liberalisasi bukan justru dilepaskan ke pasar bebas tanpa proteksi.

Menilik sejarahnya tembakau bukanlah komoditas yang baru dalam sektor pertanian kita. Sejak tahun 1830 lewat kebijakan Cultur Stelsel tembakau mulai ditanam di Indonesia lewat kebijakan kolonial Belanda. Sektor ini meski pada awalnya mengalami pasang surut namun bisa bertahan menghadapi goncangan perekonomian. Tembakau sendiri di beberapa daerah di Jawa Tengah menjadi tanaman andalan petani karena mudahnya ditanam dan dikenal tahan terhadap berbagai macam penyakit tanaman. Meski tidak semua daerah bisa ditanami tembakau namun keberadaan petani tembakau harusnya menjadi perhatian bagi pemerintah. Di tahun 2010 yang lalu saja negara  menerima 58,3 triliun dari cukai, sebesar 55,8 triliun berasal dari rokok.  Berkebalikan dengan itu keberadaan petani tembakau sangat memprihatinkan. Tak ada proteksi maupun subsidi yang diterapkan oleh pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Petani tembakau dibiarkan bertarung dengan harga yang ditetapkan oleh pasar. Tidak heran banyak petani tembakau mengeluhkan nasibnya jika RPP tembakau yang disinyalir memuat kepentingan asing ini disahkan. Ini jelas berbeda dengan petani tembakau Cina yang diberikan perlindungan, pelatihan serta subsidi oleh pemerintah untuk petaninya menghadapi persaingan global. Industrialisasi sektor pertanian di China juga bersinergi dengan sektor lain seperti transportasi dan teknologi dimana semuanya saling bersinergi di bawah kebijakan pemerintah untuk kesejahteraan petaninya.

Tak jauh beda dengan petani tembakau, petani bawang merah yang rata-rata hidup di pesisir pantai utara Jawa Tengah mengeluhkan nasibnya karena impor bawang yang dilakukan pemerintah setempat. Impor ini dilakukan ketika petani sedang mengalami panen raya. Adanya bawang merah impor membuat harga bawang merah lokal anjlok sehingga petani tidak bisa menikmati hasil panennya. Lewat tekanan aksi demonstrasi petani maka pemerintah setempat menunda impor bawang hingga masa panen telah lewat.  Begitu juga dengan keberadaan petani kedelai. Setali tiga uang dengan petani tanaman lain, kebijakan impor kedelai oleh pemerintah beberapa bulan lalu memicu protes keras di kalangan petani kedelai. Melonjaknya harga tempe sebagai efek dari  kebijakan yang tidak jelas itu justru mengakibatkan kesulitan di masyarakat biasa. Apakah setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus selalu berlawanan dengan keinginan petani?  Tentu saja tidak jika pemerintah kita berkeinginan untuk berdaulat atas sektor pertaniannya tidak hanya mementingkan kepentingan segelintir kelompok seperti yang diterapkan belakangan ini.

Reformasi Agraria sejatinya ditujukan untuk petani dengan cara redistribusi tanah untuk petani yang tidak memiliki lahan. Kebijakan populis Bung Karno ini diambil setelah melihat kenyataan yang ada di Indonesia dimana rata-rata petani Indonesia adalah petani yang tidak bertanah atau memiliki lahan namun sempit. Marhaen begitu sebutan Bung Karno untuk menceritakan kondisi petani di Indonesia. Marhaen ini tertindas oleh imperialisme (baca: modal asing) dan feodalisme yang saat itu bercokol di Republik meski telah merdeka lebih dari 10 tahun. Si Marhaen ini harus dimerdekakan dengan cara melakukan distribusi ulang tanah dimana ada pembatasan kepemilikan lahan oleh petani besar. Sayangnya kebijakan yang baru berjalan 7 tahun saat itu mandeg dengan bergantinya era Orde Lama ke Orde Baru pada tahun 1967. Pemerintahan Soeharto dengan kebijakan pembangunannya memarjinalkan petani serta mendewakan investasi asing sebagai tonggak perekonomian negeri. Tidak heran dikeluarkannya kebijakan UU PMA, UU Kehutanan serta  Perkebunan saat itu justru bertentangan dengan semangat dari UU PA. Hasilnya adalah konflik agraria antara masyarakat dengan pemerintah kerap terjadi setelah reformasi bergulir.

Carut marutnya kondisi pertanian dan petani Indonesia sudah seharusnya segera diambil jalan keluar yang menguntungkan bagi petani. Pemerintah saat ini harus benar-benar serius menjalankan Reformasi Agraria sesuai dengan amanah UUD 1945 serta UU PA tahun 1960. Reformasi Agraria yang dimaksud adalah dimana dijamin tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria oleh segelintir orang. Hal ini juga harus didukung dengan kebijakan harga pembelian hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil dan mekanisme keuangan petani yang tidak menjerat maka petani yang adil dan makmur bukan lagi sekedar cita-cita. Selamat Hari Tani Nasional !

No comments:

Post a Comment